Wednesday, October 9, 2013

KAPITALISME BUDAYA DAN SENI

KAPITALISME BUDAYA DAN SENI

Mengenal Peran Seni dalam Masyarakat Kapitalis

H
akekat seni selama ini telah menjadi perbicangan dan perdebatan yang sangat memukau di kalangan seniman maupun tokoh intelektual. Perbincangan tersebut terjadi antara para filsuf maupun kritik seni. Tidak mungkin pembicaraan seni sebagai realitas independen yang lahir begitu saja tanpa adanya pertarungan konsep, ideologi, dan filsafat yang ada di benak para seniman. Maka, untuk membicarakan masalah seni, pada akhirnya adalah membicarakan kesenian itu sendiri. Pada akhirnya perbincagan gagasan-gagasan dari manusia yang berkarya di belakang penciptaannya seni itu sendiri.
Dalam hal ini ada aspek utama yang perlu dipertimbangkan dalam proses seni, yaitu aspek obyektif dan aspek subyektif. Aspek obyektif berkaitan dengan pertimbangan berbagai faktor yang yang membatasi antara proses perkembangan seni, seperti teknologi, material, konvensi. Aspek subyektif berkaitan dengan kemampuan artistik dan daya kreativitas seniman, yang di bentuk oleh kebudayaan, mitos kepercayaan serta bawah sadar seniman itu sendiri.
Di Indonesia sejauh ini, kesenian seringkali direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi di pandang sebagai gagasan kreativitas yang di dasarkan pada suatu filsafat tertentu, melainkan suatu gerakan yang berkesenian yang berorientasi pada politis secara sempit. Dalam perkembagannya, keperpihakan seni dan seniman ini, tanpaknya lebih cenderung menempatkan seni dan juga kebudayaan sebagai media untuk mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, serta selera masyarakat yang diarahkan untuk berpihak pada struktur yang berkuasa, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Misalnya dalam masyarakat yang masih mempercayai mitologi, seni di pakai untuk menamakan mitos-mitos ke dalam benak masyarakat. Di sini seni tampak menjadi agen kekuasaan para dewa, dan dengan demikian, juga orang-orang tertentu yang di angkat sebagai para wakil di dunia.
Kita lihat di abad pertengahan, di mana seni harus mengabdi pada keagungan dan kepentigan gereja dan dogma-dogma serta ajaran yang harus disampaikan ke dalam pikiran masyarakat untuk mengakui semacam ini, dan pada akhirnya menuntut masyarakat untuk mengakui kekuasaan gereja.

Hubungan Seni dan Kekuasaan Kapitalis

H
ubungan seni dan kekuasaan terus berlanjut selama sejarah peradaban manusia masih berjalan. Misalnya, di masa lahirnya Revolusi Industri yang ditandai dengan berkekuasaan modal atas kerja manusia, seni kembali harus mereposisi perannya kembali. Kapitalisme yang didukung kekuatan modal, memaksa seni untuk berpihak pada dirinya, yang akhirnya muncul istilah aplicated art serta pop art, yang semuanya mengacu pada seni yang di jual. Di sini seni telah di tempatkan sebagai komoditas, dan keindahan seni mulai diukur dengan uang serta hubungan dengan keuntungan kapital.
Fenomena ini antara lain di tangkap oleh Antonio Gramsci sebagai suatu cara kelas dominan atau yang berkuasa untuk menghegemoni masyarakat. Di sini seni di pergunakan sebagai alat penghegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Dalam lingkup kesenian, hegemoni senantiasa muncul berupa produk-produk kesenian massal yang serba seragam, yang bahkan masuk pada wilayah ekspresi- ekspresi artistik publik, dan secara riil membunuh kreativitas. Contohnya hegemoni seperti dapat ditemukan di wilayah-wilayah pedesaan dan kampung-kampung, di mana masyarakat dibuat tidak berdaya pada kehendak kelas yang dominan, dalam hal ini aparatur negara.
Seni sebagai agen kamapanan, di satu sisi pada akhirnya menimbulkan konflik tersendiri di dalam dirinya. "Karena seni sesungguhnya pemberontakan," kata Albert Camus, seorang filsuf dan seniman Prancis, tendensi-tendensi pemberontakan seni, merupakan prasyarat bagi lahirnya kreativitas, jika selama seni melulu mengabdi pada kekuasaan yang nota bene berarti kemampuan seni akan kehilangan sumber dayanya yang paling utama, yaitu kreativitas. Dan dengan sendirinya seni akan mati sebagai seni.
Pemberontakan seni, mau tidak mau pada akhirnya memunculkan suatu arus baru dalam berkesenian. Aliran-aliran baru yang muncul, merupakan representasi adanya gerak dialektis dalam berkesenian, sebagai antitesis terhadap aliran-aliran sebelumnya. Sebab, seni hadir untuk melawan dominasi, dari beberapa pemikiran Karl Marx dan dapat disimpulkan bahwa seni harus mengabdi pada revolusi dan kepentingan rakyat. Dengan ungkapan lain, Leon Trotsky menyatakan bahwa pemberontakan seni lahir sebagai ungkapan perjuangan manusia untuk memperoleh hak-haknya yang dirampas oleh struktur yang bekuasa. Ini semakin membuktikan bahwa pemberontakan seni merupakan awal dari tendensi-tendensi baru dalam berkesenian.

Mengenal kapitalis dari sudut pandang perkembangan budaya nusantara

B
udaya adalah sebuah warisan sosial yang mengandung arti bahwa budaya adalah pemberian suatu hasil akumulasi berbagai macam interaksi tatanan sosial dimasa lalu kepada generasi setelahnya untuk kemudian berulang seperti sebuah siklus. Siklus itu hanya akan terputus jika budaya (warisan) itu tidak lagi diulang oleh generasi selanjutnya. Jadi artinya budaya akan terus menjadi sebuah warisan, jika masyarakat (faktor sosial) terus menggunakannya sebagai bagian dari keterinteraksian antar mereka.
Di Indonesia sendiri, perkembangan kebudayaan selalu saja mengalami fase naik dan turun seperti halnya prinsip roda kehidupan. Pada awalnya, Indonesia banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang terdahulu yang patut untuk dibanggakan dan dikagumi oleh masyarakatnya, tetapi seiring dengan berkembangnya zaman, kekayaan Budaya lokal yang ada di Indonesia sepertinya mulai mengalami perubahan besar yang seakan-akan sudah keluar dari pakem kelokalannya , Hal itu disinyalir bisa terjadi dikarenakan di masa yang semakin modern ini, banyak anak bangsa yang mulai melupakan akar budaya negerinya dikarenakan gaya pemikiran mereka yang mulai merujuk dan berpedoman kepada gaya berpikir kapitalis , Dalam konteks kapitalisme, istilah budaya sendiri lebih berkaitan dengan produk ideologi, produk seni, sastra, gaya hidup, kebiasaan, pola pikir, dan lain-lain yang dipahami sebagai produk yang bisa menghasilkan keuntungan atau kerugian dan bukan dipahami sebagai anugerah kearifan lokal yang patut dijaga kelestariannya. 
Menurut Frederich Jameson (1984), budaya yang ada sangat mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kapitalisme. Karena bagi kaum kapitalis, budaya merupakan bagian atau unsur yang tidak terlepas dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat konsumen.  Di era kapitalis, dengan semakin majunya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia kapitalis mulai menghitung segalanya dengan prinsip untung rugi. Di masa kini, produk atau hasil cipta karsa kebudayaan yang ada, semata-mata hanya dianggap sebagai hasil kreativitas yang bisa dijual secara ekonomis dengan prinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari penjualan produk budaya lokal tanpa memikirkan fungsi utama dari budaya lokal yang ada.
Dengan munculnya pemikiran kapitalis terhadap perkembangan budaya lokal, maka secara otomatis kemurnian dari sebuah kepakeman budaya lokal mulai mengalami pergeseran fungsi dan pemaknaan. Hal itu dikarenakan dalam penampilan barunya, budaya lokal yang ada bukan lagi tampil sebagai karya murni cipta karsa leluhur yang adiluhung , melainkan budaya yang ada justru akan tampil dalam kemasan yang berbeda dan melenceng dari nilai-nilai kearifan lokal sebelumnya dikarenakan munculnya paham untung rugi yang ada dalam kebudayaan kapitalis yang menggeser nilai kesakralan dari pakem budaya lokal .

Ketika kesakralan budaya berubah menjadi tontonan belaka

D
i era Kapitalis seperti sekarang ini, nilai-nilai kesakralan yang ada dalam suatu budaya lokal mulai mengalami pergeseran yang mengkhawatirkan, misalnya saja dalam kesenian pemanggilan arwah orang yang sudah meninggal lewat media boneka Nini Thowok yang berasal dari Jogja , lambat laun fungsi utama dari ritual pemanggilan arwah ini mulai mengalami pergeseran fungsi dan makna akibat masuknya nilai-nilai kapitalis ke dalam budaya Jawa. Di masa kini , kesenian Nini Thowok bukan dianggap lagi sebagai kesenian tradisional yang sakral dan mistis seperti dahulu kala, melainkan fungsinya sudah bergeser menjadi kesenian hiburan yang dapat menghasilkan keuntungan finansial yang cukup menjanjikan bagi para investor kapitalis yang berani menanamkan modal untuk keberlangsungan pementasan acara kesenian Nini Thowok yang tentunya akan menghasilkan pundi-pundi rupiah .
Di  zaman sekarang, kesenian Nini Thowok tidak lagi hanya dipentaskan di lokasi desa-desa kramat yang jauh dari hiruk pikuk Kota Jogja saja, melainkan lokasi pementasannya kini, mulai berpindah ketempat-tempat wisata yang penuh dengan keramaian wisatawan yang haus akan pertunjukan tradisi lokal . Lewat kemenarikan budaya yang ditawarkan oleh kesenian Nini Thowok, Para investor kapitalis akan mencoba untuk mengemas kesenian Nini Thowok menjadi lebih modern dan pantas menjadi pertunjukkan yang patut ditonton oleh wisatawan berduit agar dapat membawa keuntungan yang menggiurkan bagi para investor kapitalis di bidang budaya tersebut .
Jika dilihat dari kasus pergeseran fungsi dari kesenian Nini Thowok diatas, maka kita sebagai masyarakat awam mulai mengetahui secara jelas bahwa paham-paham kapitalis mulai merasuk kedalam kebudayaan lokal Indonesia, hal itu dibuktikan dengan pergeseran makna kesakralan dalam kesenian Nini Thowok , yang dimasa kekinian justru berubah menjadi hiburan belaka yang bisa menghasilkan rupiah akibat ditonton oleh semua orang yang berminat untuk menyaksikan keunikan dari kesenian Nini Thowok. Apabila kebudayaan kita terus digerogoti oleh paham kapitalis, seperti halnya dalam kasus kesenian Nini Thowok, maka secara cepat atau lambat, sejumlah  warisan leluhur yang syarat akan nilai filosofi yang adiluhung itu kian mengalami perubahan yang melenceng dari pakem aslinya akibat munculnya nilai ekonomis yang bisa menghasilkan keuntungan lebih dari kebudayaan yang ditampilkan. Lalu, Ketika hal ini sudah terjadi, berarti kita sebagai bangsa yang berbudaya , tidak akan mengetahui secara pasti tentang mana kebudayaan yang asli Indonesia dan mana pula wujud kebudayaan yang merupakan hasil campur tangan budaya kapitalis dikarenakan sudah terjadi pergeseran fungsi dan makna yang melenceng dari nilai kepakeman yang telah diciptakan oleh nenek moyang kita di masa dahulu.
Dampak buruk dari semua intrik kapitalis yang melenceng dari pakem asli itu pasti akan dirasakan di masa mendatang, misalnya saja kesakralan suara gamelan dan gending-gending Jawa hilang dari pendengaran, Kepiawaian membuang sampur dan lemah gemulai tangan seorang penari mulai jarang terlihat, Keterampilan memainkan wayang kulit dan suluk seorang dalang tak pernah dilihat. Pendek kata, Nilai kesakrakalan budaya tradisional di era kapitalisme akan mengalami kepudaran akibat lebih dipikirkannya fungsi ekonomis dari sebuah budaya , Sedangkan untuk fungsi kesakralan pakem lokalnya justru dinomorduakan bahkan dilupakan oleh para investor berotak kapitalis karena dianggap tidak ada hubungannya dengan keuntungan finansial yang akan mereka  dapatkan .

Aksi kaum Kapitalis bengis di Kawasan Candi Prambanan

C
andi prambanan merupakan salah satu candi terkenal di Indonesia yang terletak di Provinsi Yogyakarta. Sejak diresmikan menjadi destinasi wisata andalan Kota Gudeg, kawasan ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dan domestik, tetapi seiring dengan ketenarannya, keberadaan kawasan di sekitar Candi Prambanan mulai menjadi sasaran empuk bagi para investor yang bergerak di Industri Pariwisata untuk melancarakan siasat kapitalisnya , dan salah satu siasat nakal yang coba untuk digencarkan oleh para monster kapitalis adalah dengan cara berencana untuk mendirikan sejumlah fasilitas penginapan untuk para turis di sekitar kawasan situs pusaka cagar budaya Candi Prambanan. Tetapi, ketika wacana tersebut menyeruak ke publik, justru banyak masyarakat awam yang menyatakan komentar tidak setuju dengan rencana konyol monster kapitalis tersebut, hal itu dikarenakan para warga khawatir jika didirikan fasilitas modern, maka  tatanan sosial-kultural di sekitar kawasan Candi Prambanan akan rusak .
Dalam kasus prambanan, seharusnya ada pembatasan yang jelas dan tegas antara ruang budaya tradisional dan ruang bisnis kapitalisme. Di era awal pendiriannya, Para pelaku budaya tradisional masa prambanan saja sudah mampu untuk memisahkan antara kepentingan spiritual dan material agar masyarakat masa kini tetap bisa menyaksikan kelangsungan hidup budaya tersebut dan diharapkan mampu melestarikan pusaka atau warisan sejarah nasional sebagai bukti kehebatan budaya masa lampau. Sedangkan, hal yang sebaliknya justru terjadi pada para pelaku bisnis-kapitalisme yang berkecenderungan selalu bertindak agresif, ganas, bengis-sadis, rakus, dan brutal untuk mendapatakan keuntungan finansial yang sebesar-besarnya.
Rencana pembangunan hotel atau penginapan tersebut dapat menjadi bukti bahwa pihak pemerintah dan pengusaha hotel sama sekali tidak mampu menghargai kawasan pusaka dunia Prambanan, melainkan mereka hanya memikirkan profit sesaat (kapitalisme) yang menggiurkan. Gagasan perlindungan kawasan cagar budaya yang kerap mereka janjikan bukanlah merupakan gagasan yang sungguh-sungguh dalam menghargai warisan budaya, melainkan hanyalah berisi gagasan palsu yang difungsikan untuk mendapatkan keuntungan (profit) bagi kalangan mereka sendiri. Kalau monster kapitalisme secara terang-terangan berkepentingan material-profit, tidaklah pantas hal tersebut menjadi tujuan utama birokrasi.
Lalu, Apabila rencana tersebut tetap dipaksakan, maka ulah kedua belah pihak ini sudah dapat kategorikan sebagai bentuk nyata dari perusakan pusaka atau warisan budaya di Indonesia. Dan tentunya, pihak yang paling bertanggung jawab dalam perusakan budaya itu adalah pemerintah, selaku birokrasi yang menentukan boleh-tidaknya kawasan pusaka disusupi oleh monster-monster kapitalisme. Jadi apabila pemerintah Menghidupkan kegiatan kapitalisme dalam kawasan pustaka, usaha itu sama halnya dengan membunuh budaya tradisional lewat siasat para monster kapitalis yang keji . Dan apabila Pemerintah memberikan sedikit saja kesempatan atau peluang kepada monster kapitalis , maka secara otomatis, mereka akan mulai menggerogoti lantas mengacau esensialitas-substansialitas kawasan prambanan yang tradisional.

Dendang Kapitalis dalam Seni musik Campur Sari

D
alam moda produksi kapitalis, karya seni yang ada lebih sering menjadi komoditi yang diperjualbelikan, dan cenderung mengikuti fluktuasi permintaan di pasar. Hal itu pulalah yang terjadi pada perkembangan musik campur sari di Indonesia yang mulai dirasuki oleh unsur-unsur kapitalis yang berasal dari pasar industri musik tradisional Indonesia. Di masa kini, genre musik campur Sari yang adapun seakan-akan sudah keluar dari pakem asli yang diciptakan oleh para maestro campur sari  wanita maupun pria tempo dulu dikarenakan mulai munculnya permintaan pasar musik yang mulai mengusulkan agar gaya menyanyi campur Sari tempo dulu yang cenderung bernyanyi dengan gaya yang klemak-klemek ( mendayu-dayu dan lemah gemulai ) dan berbusana Jawa tradisional yang terkesan kaku dan ribet tidak lagi ditampilkan dalam penampilan seni campur sari modern, hal itu dikarenakan para konsumen penikmat musik campur Sari masa kini, justru lebih menggemari dendang musik campur sari yang dinyanyikan dengan cengkok suara yang seksi dengan gerakan penarinya yang energik dan berbusana modern.
Dengan adanya permintaan pasar tersebut, mau tidak mau para produser musik campur Sari yang kebanyakan menggunakan pola pemikiran kapitalis, saling berlomba-loma untuk menciptakan genre musik campur sari terbaru dalam kemasan yang lebih modern guna memenuhi selera pasar konsumen yang menikmati alunan musik campur sari ini dan tentunya, secara otomatis dapat menghasilkan keuntungan finansial yang cukup besar bagi para produser musik yang mayoritas berprinsip ala kapitalis ” berani keluar modal yang layak untuk meraup keuntungan yang banyak ” . Dengan pola pikir yang demikian itu, pada akhirnya banyak menimbulkan ironi pada perkembangan musik campur sari di Indonesia, misalnya saja : jika di masa lalu, gerakan para penyanyi atau panembang lagu campur sari sangat dikenal dengan gerakannya yang lemah gemulai, justru di masa kini telah berubah menjadi gerak energik yang terkadang cenderung mengarah ke gerakan seronok dan terlalu  sensual yang justru lebih dikonotasikan sebagai bagian dari aksi pornoaksi yang membahayakan, sehingga keberadaan musik itu, tidak sesuai dengan pakem budaya Jawa asli yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan ala Bangsa ketimuran. Munculnya ironi-ironi tersebut, seharusnya dapat membuat sadar para pelaku paham kapitalis di bidang kesenian  agar mereka harus berhati-hati dalam memenuhi selera pasaran musik Indonnesia. Hal itu dikarenakan dalam perkembangannya ,tidak semua anggota masyarakat bisa menerima perubahan mendadak yang terjadi pada musik campur sari, alih-alih ingin menghasilkan keuntungan yang berlebih dari project musik campur sari  modern yang mereka buat, justru kerugianlah yang akan mereka terima dikarenakan para penikmat campur sari tidak bisa menerima modifikasi musik campur sari yang investor kapitalis buat .

Siasat Kapitalis : membuat Desa Adat semakin padat

B
eberapa tahun belakangan ini, wisata kampung adat rupanya juga telah menjadi incaran potensial yang dapat menghasilkan keuntungan besar bagi para pemilik modal yang berjiwa kapitalis sejati. Jika di zaman dahulu, kawasan sekitar kampung adat pantang hukumnya untuk dikomersialisasikan kepada masyarakat luas karena alasan kesakralannya dan kemistisannya yang abadi. Tetapi di masa kini , para kapitalis di bidang industri pariwisata, berhasil memberikan penjelasan panjang lebar yang bisa meyakinkan kepada seluruh warga desa tetang keuntungan menarik yang dapat mereka terima apabila kampung adat diubah menjadi tempat wisata edukasi dan rekreasi bagi masyarakat umum. Di masa kini , berkunjung ke kampung adat bukanlah menjadi hal yang menakutkan lagi bagi para orang luar adat, tetapi hal yang sebaliknya justru akan terjadi , apalagi setelah para wisatawan melihat berbagai fasilitas tambahan yang dibangun oleh para investor yang ingin mengeruk keuntungan dari kemajuan pariwisata di Kampung adat yang Ia kembangkan.
Tetapi lambat laun, perkembangan pesat yang terjadi didesa adat akibat adanya pengembangan industri pariwisata, bukanlah menjadi suatu hal yang dibanggakan oleh sebagian besar warga desa adat, bisa dikatakan demikian karena dengan munculnya gaya hidup modern yang dibawa oleh para turis ke dalam desa, maka secara otomatis kehidupan warga desa yang dulunya berpikiran tradisional mulai terkontaminasi dengan gaya kehidupan ala orang modern yang tentunya sangat bertentangan dengan adat-istiadat yang telah diciptakan di zaman dahulu. Tetapi anehnya, para investor yang menanamkan modal untuk pengembangan wisata kampung adat , tidak pernah memikirkan aspek kerugian yang dialami oleh warga kampung adat akibat adanya pengembangan industri pariwisata di wilayah adat. Di benak mereka ( para investor) keuntungan finasial lebih menjadi perhatian yang diutamakan ketimbang harus memikirkan kerugian yang diperoleh warga desa adat akibat adanya unsur modernisasi yang masuk ke kawasan desa mereka.
Dan di bawah ini, merupakan beberapa contoh desa adat terkenal di Indonesia yang telah dirasuki oleh gaya hidup kapitalis modern, akibat telah dimanfaatkan oleh para investor untuk menjadi tempat wisata edukasi dan rekreasi bagi masyarakat luas :

1.       Kampung adat Ciptagelar
Kampung adat Ciptagelar berada di antara Gunung Karancang, gunung Surandil dan Gunung Kendang dan berada pada ketinggian 1.050 meter diatas permukaan laut. Lokasi Medan yang ditempuh memang lumayan berat bagi para wisatawan, tetapi keadaan jalan yang menantang itulah yang coba dimanfaatkan oleh para investor di bidang pariwisata untuk menarik minat para wisatawan agar mau berkunjung ke Kampung adat Ciptagelar.
Di masa kini, Desa Ciptagelar sangatlah terbuka untuk para wisatawan domestik maupun asing. Tetapi setiap wisatawan atau tamu yang berkunjung ke Desa Ciptagelar diwajibkan untuk meminta ijin terlebih dahulu kepada Abah Ugi, karena segala sesuatu di Ciptagelar memang harus se ijin Abah Ugi. Abah Ugi sendiri tinggal di Imah Gede yang juga merupakan tempat pemerintahan, di tempat ini Abah Ugi sering menjamu para tamunya.
Di masa lalu, menerima kunjungan dari orang luar adat merupakan suatu hal yang dipantangkan oleh pemimpin adat di Ciptagelar. Tetapi kini, hal yang sebaliknya justru terjadi, setelah mengetahui tentang keuntungan finansial yang bisa didapatkan, Para penghuni kampung saling berlomba-lomba untuk menghidupkan dunia wisata di kampong Cipta Gelar, misalnya saja dengan mendirikan sanggar kesenian adat untuk dinikmati oleh para wisatawan, membuka warung-warung makan di sekitar kampung wisata dan mengembangkan berbagagi macam aktivitas perekonomian lainnya yang tentunya diharapkan bisa menghasilkan uang yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidup seluruh warga kampung adat.

2.      Kampung adat Baduy
 Kampung adat Baduy terletak di provinsi Banten, tepatnya berada di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten . Kawasan adatnya mulai dikembangkan oleh para investor sebagai desa wisata sejak tahun 1997. Dengan ditetapkannya kawasan Baduy sebagai desa wisata, maka sejak saat itu pulalah gaya hidup tradisional baduy mulai dirasuki oleh gaya hidup kapitalis ala orang modern, misalnya saja : sistem perekonomian barter pada tahun 80an, kini telah terkoyak akibat adanya dampak modernisasi desa adat, suku baduy masa kini secara pasti telah menjadikan sistem uang sebagai penunjang aktivitas perekonomiannya . Selain itu , di masa modern kini, orang Baduy tidak lagi menggunakan sistem ekonomi tertutup sebagai penunjang kehidupan keluarga, tetapi justru berpindah ke sistem perekonomian terbuka dikarenakan dianggap lebih menguntungkan dan menghasilkan keuntungan finansial yang cukup banyak untuk memenuhi kesejahteraan hidup keluarga ( misalnya : Dahulu, produksi hutan hanya diperuntukan untuk konsumsi keluarga, namun kini meski dengan sistem tebang pilih. Banyak produksi hutan yang berupa komoditi kayu mulai diperjual belikan ke luar tanah adat guna mendapat keuntungan yang lebih besar daripada harus dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi )
Dari hal diatas, kita dapat mengetahui bahwa Interaksi yang sangat insentif antara wisatawan dan penduduk lokal secara kognitif mampu merubah pola pikir penduduk lokal yang polos dan masih tradisional. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, tiap minggunya ratusan wisatawan datang untuk mengunjungi tanah Baduy untuk berwisata. Meski tanpa listrik dan harus berjalan kaki sejauh 12 km untuk sampai ke Baduy Dalam. Kebanyakan wisatawan tetap tertarik untuk menyaksikan bagaimana green living Suku Baduy yang terealisasikan dalam kehidupan nyata penduduk desanya.

3.      Kampung adat Naga

Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Kawalu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Wilayah kampungnya, semakin dilirik oleh para investor untuk dikembangkan menjadi kampung wisata semenjak ditemukannya situs candi Cangkuang di dekat pemukiman warga Kampung Naga , Ketika telah diputuskan untuk menjadi kampung wisata, Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat dibantu dengan para investor mulai membangun fasilitas-fasilitas umum penunjang kegiatan kepariwisataan di Kampung Naga. Setelah proses perbaikan sarana dan prasarana wisata sudah dianggap mencukupi, para wisatawan mulai berbondong-bondong untuk berkunjung ke Kampung Naga guna melihat situs budaya Candi Cangkuang dan situs pemukiman warga Kampung Naga yang terkenal unik dan artistik. Dengan kunjungan para wisatawan, secara otomatis pihak investor bisa mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari pengembangan iklim kepariwisataan di kampung Naga.
Kemunculan dunia wisata di kampung adat, membuat para warga di kampung Naga mulai memanfaatkan peluang tersebut sebagai peluang bisnis yang bisa medatangkan keuntungan berlebih bagi mereka. Jika di masa dulu , mayoritas warga Kampung Naga berprofesi sebagai petani sawah dan peladang, di masa kini  profesi mereka justru beragam, ada yang menjadi tukang foto di lokasi wisata Kampung Naga, ada yang menjadi tour guide ( pemandu wisata) , bahkan ada pula yang berpindah profesi menjadi pengrajin cendramata khas kampung Naga yang tentunya dapat menghasilkan nilai rupiah yang lebih besar dibandingkan harus bekerja sebagai petani dan peladang yang hanya menghasilkan uang seadanya. Kemunculan gaya hidup materialistis di Kampung Naga akibat munculnya semangat kapitalisme yang dibawa oleh para investor wisata, pada akhirnya bisa mengancam kelestarian tradisi adat Kampung Naga dikarenakan sistem untung-rugi sudah mendarah daging dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat adat Kampung Naga .

Dengan Munculnya Gaya hidup kapitalis yang berlandaskan prinsip untung-rugi di beberapa kampung adat diatas, Sangatlah menimbulkan kekhawatiran yang cukup serius untuk perkembangan Kampung adat di Indonesia.  Hal itu dikarenakan, Apabila kearifan kampung adat sudah berani digadaikan di dalam industri pariwisata, maka sangat dimungkinkan di masa mendatang, nilai-nilai kehidupan tradisional yang adiluhung dari suatu kampung adat tidak dapat kita temukan lagi dikarenakan masyarakat adatpun sudah terkontaminasi dengan gaya hidup kapitalis yang condong berpikir secara materialistik .

Wabah Kapitalistik : Membuat Desa Adat Terserang Virus Ambigu

K
uatnya cengkraman ekonomi pariwisata yang kapitalistik serta proses reproduksi yang dilakukan oleh berbagai agency-nya menimbulkan sejumlah keraguan, bahwa fenomena Ubud, Sanur, Kuta dan Candidasa, merupakan contoh dari desa adat yang kuat. Keraguan itu berawal dari sejumlah ambiguitas yang justru dimiliki oleh sejumlah desa adat di kawasan pariwisata tersebut. Ambiguitas itu ditunjukan oleh beberapa fenomena :
o        Pertama, desa adat sangat berkuasa berhadapan dengan PKL, pelacuran dan pemulung. Namun, lain halnya dalam berhadapan dengan investor besar. Awal mula sikap ambigu ini terjadi ketika desa adat yang dibentuk untuk menjamin terjaganya public good (baik public interest maupun public properties) menjadi "goyah" akibat desakan sejumlah "kebutuhan" ekonomi desa adat. Mulai dari perbaikan pura, upacara, pengisian kas desa dan sebagainya. Akibatnya, ada sebagian krama dan prajuru justru mendukung proses konversi tanah karang desa untuk kepentingan investor.
o        Ambiguitas yang kedua, desa adat di kawasan pariwisata terkesan kuat justru pada the looser dan lemah terhadap the winner dari aktor-aktor yang berkompetisi dalam ekonomi pariwisata. Hal ini terlihat jelas dari munculnya kecenderungan ngamis kacenik (menyalahkan dan menekan yang di bawah), di mana standar yang digunakan oleh desa adat dalam menentukan pepesuan lebih berpihak pada kalangan ekonomi menengah ke atas (nak sugih) yang merupakan the winner bukan ke the looser.
o        Ambiguitas yang ketiga, di tengah wacana desa adat yang kuat ternyata desa adat lemah menghadapi konflik antardesa adat. Hal ini nampak dari meluasnya konflik antardesa adat di daerah kawasan pariwisata dalam memperebutkan aset-aset ekonomi strategis. Dalam ekspansi modal yang makin meningkat terutama di daerah-daerah pariwisata terjadi persengketaan antardesa adat dalam menentukan batas-batas desa, pengelolaan objek wisata ataupun reklaim terhadap kepemilikan tanah duwe desa. Hal ini nampak jelas terjadi dalam kasus kekerasan kolektif yang muncul di sekitar kawasan wisata Candidasa antara Desa Pasedahan dan Nyuh Tebel.
o        Ambiguitas yang keempat, walaupun dijumpai kecenderungan makin meluasnya ketegangan yang terjadi antara negara, pemilik modal di satu pihak berhadapan dengan desa adat, yang mana masyarakat lokal menggunakan adat sebagai instrumen untuk memperkuat posisi tawar mereka. Namun, desa adat terkesan lemah dalam memformulasikan dan mengontrol tuntutan kolektifnya. Sehingga, penggunaan desa adat untuk kepentingan yang sangat instrumentalis menyisakan persoalan baru, karena desa adat juga bisa muncul sebagai pemburu rente baru (new rent sekeers).
Dalam konteks ini, adat menjadi sangat "semena-mena" digunakan untuk merumuskan tuntutan yang bisa jadi representasi dari kepentingan pribadi warganya. Mulai dari mendapatkan pekerjaan di hotel, mencegah munculnya kompetitor baru dari kalangan pendatang atau bahkan menolak sepenuhnya kehadiran investor. Akhirnya, meluasnya penggunaan adat sebagai instrumen tawar-menawar tanpa diikuti dengan kesadaran tentang perangkap reproduksi ekonomi kapitalistik dan perumusan aturan main yang jelas, bisa menjadikan desa adat sebagai desa adat yang ambigu.

Negeri Gingseng dan siasat kapitalisasi Budayanya ke Indonesia

T
ernyata di masa kekinian, Budaya kapitalis tidak hanya menyerang ke kawasan pemukiman adat yang terpencil saja, melainkan juga telah menyebar ke wilayah perkotaan besar yang dipenuhi dengan hiruk-pikuk kehidupan ekonomi warganya yang seakan-akan tidak pernah tidur , Salah satu diantaranya dapat dibuktikan dengan perkembangan Korean Wave yang merupakan hasil karya dari para Industri berkesenian para kapitalis di Indonesia. Begitu banyak produk-produk industri budaya Korea Selatan yang masuk ke Indonesia dan mengambil tempat tersendiri di hati bangsa Indonesia. Baik dari dunia fashion, musik, film, kuliner, barang elektronik, dan gaya hidup lainnya. Korean wave sendiri adalah gelombang penyebaran budaya pop Korea ke seluruh dunia. Pada mulanya, gelombang ini hanya menyerbu wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara bagian  utara, seperti Vietnam. Namun, gelombang budaya pop korea menyebar ke seluruh wilayah Asia, bahkan hingga benua Eropa dan Amerika. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang tidak bisa mencegah besarnya animo gelombang korean pop.
Dari tahun 2002-2005 drama-drama Korea yang populer di Asia termasuk Indonesia antara lain Endless Love, Winter Sonata, Love Story from Harvard, Glass Shoes, Stairway to Heaven, All In, Hotelier, Memories in Bali, dan Sorry I Love You yang merupakan serial drama melankolis. Drama komedi romantis muncul berikutnya, antara lain Full House, Sassy Girl Chun Hyang, Lovers in Paris, Princess Hours, My name is Kim Sam-soon, My Girl, Hello Miss!, dan Coffee Prince. Genre drama berlatar belakang sejarah ikut mencetak rating tinggi, antara lain drama Dae Jang Geum, Queen Seon Deok, Hwang Jini, hingga Jumong. Tahun 2008-2009, drama Korea yang banyak mendapatkan perhatian adalah Boys Before Flowers (BBF).
Seiring dengan drama Korea yang semakin diterima publik Indonesia, muncul pula kegemaran akan grup boyband seperti grup musik dari SM Entertainment, seperti TVXQ dan Super Junior. Rupanya wabah dari korean wave ini kemudian berdampak pada pariwisata. Lokasi syuting drama korea yang terkenal menjadi obyek pariwisata yang digemari para turis untuk dikunjungi. Tentu dengan semakin banyak turis yang mendatangi korea selain berimplikasi terhadap bertambahnya devisa negara juga dapat sekaligus lebih mendekatkan secara emosional antara korea dengan turis. Akan lebih banyak orang yang merasa dekat dengan negara korea dan pelan-pelan akan memunculkan rasa sense of belonging.
Adanya wabah Korean Wave ini yang paling diuntungkan adalah para pelaku bisnis, khususnya industri hiburan. Para pengusaha industri hiburan nampaknya sangat memahami bahwa masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja, mulai terkena demam korea. Oleh karena itu, mereka mulai menciptakan semacam  imitasi dari budaya pop korea ke dalam budaya pop Indonesia, seperti menciptakan boy/girlband ala Korea. Para pengusaha itu tentunya tahu betapa kaum remaja sangat mengidolakan K-Pop dan Korean Wave. Jadi dengan menciptakan imitasinya akan lebih mudah untuk menarik minat pasar. Lalu, keuntungan-lah yang mereka dapatkan.
Industri hiburan ini merupakan bagian dari industri kapitalis yang didesain untuk mendulang keuntungan. Sementara remaja kita, hanya sebagai konsumen semata.  Mereka sama sekali tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomis. Justru rakyat jadi buntung karena dipaksa konsumtif oleh industri hiburan yang relatif merogoh kocek ini .

Simpulan

Jika dipandang dari segi seni dan budaya, kecenderungan berpikir kapitalis justru lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan, hal itu dibuktikan dengan banyakanya masalah yang timbul akibat munculnya gaya hidup kapitalis dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, misalnya saja: terjadi pergeseran pemaknaan kebudayaan, perampasan hak adat oleh para monster kapitalis, penindasan budaya adat akibat munculnya siasat monster kapitalis, hingga munculnya gaya hidup materialistik dan konsumtif pada masyarakat kita akibat adanya kecenderungan hidup ala kapitalis.
Bercermin dari dampak yang ditimbulkan, maka kita sebagai masyarakat awam harus bisa mewaspadai hasutan para monster kapitalis yang sewaktu-waktu bisa mengggerogoti indahnya kehidupan berbudaya dan berkesenian di wilayah kita masing-masing . Jangan sampai di masa depan, negara kita tidak memiliki warisan kekayaan seni dan budaya akibat sudah ”dijual ”  kepada para monster kapitalis yang bisa dengan sesuka hati merombak dan mengubah pakem budaya tradisonal guna untuk memperoleh keuntungan finansial yang seabreg-abreg bagi para monster.



1 comment:

Unknown said...

halo kak, artikelnya bagus..
kalo boleh tahu sumber2 di sini dapatnya dari mana ya? atau itu hasil penelitian sendiri? karena ingin saya masukkan ke dalam daftar pustaka tugas akhir saya, terimakasih :)